Sudah lama wacana hubungan antara agama dan negara menjadi pedebatan dikalangan intelektual. Hingga saat ini, seakan tidak menemui titik akhir tak terkecuali di Indonesia yang mayoritas penduduknya pemeluk agama Islam. hal ini bias dimaklumi, mengingat keduanya memiliki keterikatan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Meskipun keduanya memiliki karakteristik yang berbeda tetapi saling berkaitan dan melengkapi.
Pada masa awal kemunculan Islam di Makkah 15 abad yang lalu diskursus hubungan agama dan negara belum memiliki perhatian pembahasan khusus mengingat pada masa awal kenabian Nabi Saw di Makkah fokus dakwahnya adalah penyebaran dan ajakan untuk memeluk agama tauhid, agama Islam. Baru setelah Nabi Saw melakukan hijrah ke Madinah dengan semakin banyaknya masyarakat Arab yang telah memeluk Islam, Islam mulai bersinggungan dengan masyarakat lain yang memiliki latar belakang yang berbeda sehingga dilakukan upaya pembentukan administrasi pemerintahan dalam mengatur kehidupan sosial-politik di Madinah dengan membentuk sebuah sistem pemerintahan melalui kesepakatan dari seluruh penduduk madinah yang heterogen terdiri dari beragam suku, bangsa dan agama dalam bentuk Piagam Madinah.
Terminologi negara dalam Al-qur’an sering disebut dengan kata “al-balad”. Kata ini dipergunakan dalam Al-Qur’an sebanyak sekitar 19 kali. Seluruhnya memiliki makna suatu tempat baik itu kota, kampung, negeri ataupun negara. Salah satu ayat yang sering dikutip adalah “baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur” (Q.S Saba : 15) yang memiliki arti (Negeri Saba) itu negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun, atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan “gemah ripah loh jinawi, ijo royo-royo, murah sandang pangan seger kewarasan”.
Meskipun Al-Qur’an beberapa kali menyebut kata “al-balad”, akan tetapi Al-Qur’an tidak memberikan aturan baku mengenai bentuk sebuah negara tertentu, meskipun terdapat juga Hadits yang menyebutkan beberapa bentuk Negara yang salah satunya adalah negara denga model khilafah, namun masih perlu adanya interpretasi bukan hanya secara normatif tapi juga dari segi historis-nya. Ketiadaan teks baik Al-qur’an maupun Hadits tentang bentuk suatu negara dalam praktek sejarahnya dapat dibuktikan pada masa khulfa’ rasyidun setelah mangkatnya Nabi Saw dalam masalah suksesi kepemimpian dengan beberapa varian yang tidak tunggal.
Abu Bakar, misalnya, menggunakan system suksesi melalui pemilihan langsung dari rakyat, kemudian berlanjut pada masa Umar bin Khathab yang terpilih berdasarkan penunjukkan langsung dari Kholifah sebelumnya Abu Bakar, kemudian pada masa Khalifah ketiga, Utsman bin Affan terpilih melalui proses pembentukkkan tim formatur (Ahlul Halli Wal ‘Ahdi). Dan pada masa Ali bin Abi Thalib terpilih malalui pemilihan secara langsung dari rakyat.
Dalam Islam terdapat kalisifikasi menjadi dua wilayah yakni Ibadah dan Mu’amalah. Dalam wilayah ibadah jenis dan tata caranya telah diterangkan secara rinci dan mapan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan wilayah mu’amalah ruang lingkupnya sangat luas dan dinamis yang tata aturan teknisnya tidak memiliki keterangan secara rinci dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Sehingga sangat mungkin untuk memberi peluang pada manusia dalam mendayagunakan akalnya agar dapat mengembangkan prinsip-prinsip umum ajaran Islam yang telah ada dalam Al-Qur’an dan Hadits dengan melakukan penyesusain-penyesuain secara kontekstual sesuai kebutuhan dan masalah-masalah yang dihadapi manusia serta selalu terbuka menerima perubahan-perubahan yang dipengaruhi oleh dinamika ruang dan waktu termasuk dalam masalah kenegaraan.
Relasi atau hubungan antara agama dan negara dalam konsep politik Islam klasik ada tiga pola paradigma yakni paradigma integralistik, simbiotik, dan paradigma Sekularistik. Paradigma integralistik adalah agama dan Negara merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Cakupan ajaran Islam diyakini bukan hanya melulu urusan ritual-spiritual, akan tetapi juga meliputi urusan aturan-aturan sosial-budaya bahkan sosial-politik.
Sedangkan paradigma simbiotik adalah relasi antara agama dan negara bersifat timbal balik dan saling membutuhkan. Agama berbeda dengan politik atau negara, tetapi agama membutuhkan negara sebagai sistem yang menjamin keberlangsungan praktik keagamaan sebagaimana negara juga membutuhkan agama sebagai landasan moral sosial-politik. Selanjutnya adalah paradigma sekularistik yang memisahkan secara dimateral antara agama dan negara.
Agama dan negara merupakan dua hal yang berbeda dan memiliki entitasnya masing-masing, negara merupakan hasil kreasi manusia yang bersifat profane dalam mangatur tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, sedangkan agama murni berupa produk keTuhanan. Akan tetapi keduanya memiliki wilayah yang dapat didialogkan secara proporsional sesuai dengan kebutuhan manusia yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosial, budaya, politik dan ekonomi yang masing-masing wilayah terdapat perbedaan-perbedaan yang tidak dapat diatur secara teknis formal dalam satu model ketatanegaraan.
Dalam hal ini yang paling penting adalah keduanya sama-sama memiki misi mulia yakni membangun kehidupan yang mampu mengantarkan manusia kepada kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw dengan Al-Qur’an dan Haditsnya tidak mewarisi satu bentuk formal suatu negara yang harus dilaksanakan oleh umatnya, tetapi hanya memberikan garis atau nilai-nilai universal yang harus diterapkan dalam kehidupan bernegara melalui kreatifitas manusia dalam wilayahnya masing-masing.
Nilai-nilai universal itu biasa dikenal dengan istilah kulliyyatul khoms atau maqoshid as-syaria’ah, yaitu menjaga agama (hifdzu al-dien), menjaga akal (hifdzul aql) menjaga jiwa (hifdzu al-nafs), menjaga harta (hifdzul mal), dan menjaga harga diri (hifdzul ‘irdh) dengan memegang tegus prinsip kejujuran, permusyawaratan, dan keadilan demi mencapai kehidupan yang sejahtera.
Agama sebagai produk keTuhanan yang memuat ajaran dalam mengatur kehidupan dalam segala aspeknya harus dilaksanakan dengan baik dan benar, akan tetapi semua tuntutan sekaligus tuntunan agama tidak akan pernah dapat dilaksnakan tanpa adanya sebuah keteraturan yang mengatur berbagai kepentingan kehidupan manusia, untuk itu diperlukan adanya tatanan yang mampu mengakomodir pelaksanaan ajaran nilai-nilai agama berupa negara dengan segala perangkatnya dalam bentuk yang tidak tunggal antara satu wilayah dengan wilayah yang lainnya.
Nilai-nilai universal itu biasa dikenal dengan istilah kulliyyatul khoms atau maqoshid as-syaria’ah, yaitu menjaga agama (hifdzu al-dien), menjaga akal (hifdzul aql) menjaga jiwa (hifdzu al-nafs), menjaga harta (hifdzul mal), dan menjaga harga diri (hifdzul ‘irdh) dengan memegang tegus prinsip kejujuran, permusyawaratan, dan keadilan demi mencapai kehidupan yang sejahtera.
Agama sebagai produk ketuhanan yang memuat ajaran dalam mengatur kehidupan dalam segala aspeknya harus dilaksanakan dengan baik dan benar, akan tetapi semua tuntutan sekaligus tuntunan agama tidak akan pernah dapat dilaksnakan tanpa adanya sebuah keteraturan yang mengatur berbagai kepentingan kehiupan manusia, untuk itu dibperlukan adanya tatanan yang mampu mengakomodir pelaksanaan ajaran nilai-nilai agama berupa negara dengan segala perangkatnya dalam bentuk yang tidak tunggal antara satu wilayah dengan wilayah yang lainnya.
Dari sini kemudian dapat kita simpulkan, bahwa betapapun tidak terdapat teks Al-Qur’an dan Hadits yang menyatakan secara jelas mengenai bentuk suatu Negara dengan ketentuan teknis yang baku, Al-Qur’an dan Hadits hanya memberikan nilai-nilai ajaran secara garis besar yang mengandung misi kemashlahatan sesuai dengan kaidah kebijakan seorang pemimpin harus berorientasi terhadap kemashlahatan rakyatnya. Negara menjadi sebuah instrumen penting dalam menopang terlaksananya ajaran-ajaran agama oleh para pemeluknya menuju kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.